Network

Pengasuhan Positif dan Afirmatif bagi Anak Cegah Perilaku Menyimpang

×

Pengasuhan Positif dan Afirmatif bagi Anak Cegah Perilaku Menyimpang

Sebarkan artikel ini

SinarHarapan.id-Deputi Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu, menilai pengasuhan positif dan afirmatif bagi anak dapat mencegah pergaulan dan perilaku menyimpang.

Pasalnya, maraknya kasus pembuangan dan penelantaran bayi dan anak dalam beberapa waktu terakhir di Indonesia harus menjadi keprihatinan dan perhatian bersama, mulai dari orang tua, keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Pribudiarta pun menekankan maraknya kasus pembuangan dan penelantaran bayi dan anak terjadi karena tidak adanya kesiapan untuk menjadi orang tua dan memiliki anak serta dukungan dari lingkungan yang positif dan suportif.

“Kasus pembuangan dan penelantaran bayi maupun anak yang banyak ditemui sebagian besar terjadi akibat pergaulan bebas yang menyebabkan kehamilan di luar nikah,” ucapnya dalam keterangan resminya, Kamis (25/1/2024).

Para remaja yang memasuki masa di mana rasa penasaran yang memuncak, lanjut dia, menjajaki berbagai macam alternatif dan pilihan, serta dorongan seksual yang tidak dapat dikontrol sering kali tidak mementingkan sebab-akibat dalam jangka panjang dan memilih untuk mementingkan kesenangan semata tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan.

“Tidak hanya pada remaja, dalam beberapa kasus juga ditemukan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan ataupun direncanakan pada pasangan dengan kondisi ekonomi yang kurang baik, sehingga akhirnya mereka memilih untuk membuang ataupun menelantarkan bayinya,” ujar Pribudiarta.

Oleh karena itu, ia menekankan dalam hal kehamilan di luar nikah yang terjadi pada remaja dapat menimbulkan berbagai macam masalah dan kompleksitas yang bahkan tidak diketahui oleh para remaja itu sendiri. Kehamilan di usia remaja dapat menyebabkan dampak yang cukup serius pada kondisi fisik, sosial, dan psikologis, khususnya bagi remaja perempuan yang memiliki potensi paling besar.

Dalam hal kondisi fisik, kehamilan di usia remaja memiliki risiko yang sangat besar bagi perempuan dan calon bayinya. Anatomi tubuh dan alat reproduksi remaja perempuan belum sepenuhnya terbentuk untuk mengakomodasi proses kehamilan dan melahirkan sehingga berisiko mengalami komplikasi medis, baik pada ibu maupun anak.

Perempuan yang melahirkan di usia remaja, menurutnya berisiko mengalami eklamsia yang lebih tinggi, endometritis nifas, infeksi sistemik, hingga kematian pada ibu dan anak. United Nations Population Fund (UNFPA) mencatat, Obstetric Fistula sebagai kasus komplikasi medis persalinan usia anak yang sering terjadi. Obstetric Fistula merupakan kerusakan pada organ intim perempuan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina.

“Perempuan yang berusia kurang dari 20 tahun rentan mengalami Obstetric Fistula dan dapat terjadi akibat hubungan seksual di usia anak. Bayi yang lahir dari ibu yang berusia anak maupun remaja juga berisiko memiliki berat lahir yang rendah, kelahiran prematur, kondisi neonatal yang parah, hingga stunting,” jelasnya.

Dalam hal dampak sosial, Pribudiarta menjelaskan, remaja yang hamil di luar nikah akan mendapatkan stigma negatif dan pelabelan oleh lingkungan sekitarnya. Terkadang, bahkan mereka kerap mendapatkan pencemoohan, pengucilan, hingga pengusiran. Kehamilan di luar nikah pada usia anak dan remaja pun berdampak pada angka perkawinan anak di Indonesia.

Sementara itu, dampak psikologis yang disebabkan oleh kehamilan di luar nikah cukup besar dan tekanan-tekanan tersebut berdampak pada kondisi kesehatan mental. Anak dan remaja yang hamil di luar nikah terpaksa harus menerima segala perubahan yang dialami, baik secara fisik hingga peran dan tanggung jawab sebagai ibu.

Hal tersebut terkadang menyebabkan trauma berkepanjangan dan depresi yang berujung pada pengambilan keputusan yang tidak tepat, seperti bunuh diri, aborsi ilegal, hingga pembuangan dan penelantaran bayi dan anak.

Berkaca dari maraknya kasus kehamilan di luar nikah pada usia anak, maka menjadi penting bagi semua pihak untuk terus mengedukasi terkait kesehatan reproduksi dan dampak panjang yang disebabkan, terutama pada anak dan remaja.

Sebagai upaya pencegahan, kedekatan dan hubungan positif antara orang tua dan anak pun menjadi kunci dalam memastikan kondisi dan lingkungan pergaulan anak yang konstruktif.

Tidak hanya itu, Pribudiarta menekankan pengasuhan alternatif pun harus menjadi opsi dalam memastikan anak dan remaja dapat tumbuh, kembang, dan terpenuhi hak-haknya. Pengasuhan alternatif dapat dilakukan di tingkat keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besarnya dengan bantuan dan dukungan penuh dari masyarakat, lembaga masyarakat, dan pemerintah.

“Idealnya pengasuhan anak merupakan tanggung jawab penuh orang tua, namun dalam kondisi dan situasi tertentu seperti keadaan orang tua meninggal, terpisah akibat dari bencana atau pekerjaan orang tua, hingga sengaja ditelantarkan, maka dapat dilakukan pengasuhan alternatif untuk memastikan kepentingan terbaik bagi anak. Pengasuhan alternatif bagi anak diproritaskan kepada kerabat atau keluarga terdekat sebelum lembaga pengasuhan atau Pemerintah menjadi pilihan akhir,” kata Pribudiarta.

Lebih lanjut, ia menjelaskan dalam memastikan hak-hak anak terpenuhi sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak melalui pengasuhan, Kemen PPPA dan Dinas yang mengampu urusan perempuan dan anak di daerah mengembangkan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA).

Puspaga dibentuk sebagai layanan yang memampukan orang tua melakukan pengasuhan sesuai hak anak yang tersebar sejumlah 257 unit di provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, Kemen PPPA pun menginisiasi pembentukan Day Care Ramah Anak atau tempat penitipan anak berstandardisasi.

“Ketika pengasuhan anak diberikan sesuai dengan hak-hak mereka, kedekatan, dan kelekatan antara orang tua dan anak, maka ketika mereka menginjak usia remaja, orang tua dapat segera melakukan upaya preventif jika mereka mulai penasaran dengan berbagai macam hal yang berimplikasi negatif.

Orang tua pun dapat memandu dan menggiring anak-anak untuk menyalurkan rasa penasarannya kepada hal-hal pengembangan diri yang positif dan konstruktif. “Edukasi terkait kesehatan reproduksi pun harus terus digaungkan agar anak-anak dapat mengetahui dan peduli mengenai kondisi tubuhnya dan mencegah perilaku seksual pra nikah,” tandas Pribudiarta.(isn/info publik)