5 October 2024

Aksi unjuk rasa. (Foto: Aldo Kaligis)

SinarHarapan.id – Amnesty International Indonesia  menanggapi rangkaian kekerasan dan tindakan represif polisi dalam menghadapi demonstrasi sejak Kamis 22 Agustus hingga Senin 26 Agustus 2024.

“Sekali lagi, satu kata: brutal! Kekerasan yang kembali dilakukan aparat keamanan sulit untuk ditoleransi. Penggunaan gas air mata yang tidak perlu dan tidak terkendali hingga pemukulan menyebabkan banyak korban sipil, termasuk anak-anak di bawah umur,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Selasa (27/8).

Usman Hamid menegaskan bahwa tindakan tersebut jelas melanggar hak asasi manusia dan berbahaya bagi keselamatan warga, terutama anak-anak yang terkena dampaknya.

Menurut Usman Hamid, keseluruhan peristiwa dan tindak kekerasan aparat keamanan yang terjadi sejak Kamis 22 Agustus hingga Senin 26 Agustus kemarin mengarah pada pilihan kebijakan yang sistematis untuk meredam suara mahasiswa dan masyarakat.

“Terlihat jelas pola keberulangan. Apalagi ini bukan pertama kalinya terjadi. Baru pekan lalu kita saksikan brutalitas itu. Kini berulang kembali,” kata Usman Hamid.

Menurut Amnesty International Indonesia, sepanjang pemerintahan Jokowi, pengerahan kekuatan yang berlebihan kerap menjadi jawaban bagi berbagai protes warga, mulai dari aksi Reformasi Dikorupsi, protes UU Cipta Kerja, protes warga Air Bangis di Sumatera Barat dan Rempang-Galang di Batam, hingga protes warga Dago Elos di Bandung.

Saat akuntabilitas atas penyimpangan aparat tidak kunjung dipenuhi, muncul kesan bahwa aparat memaklumi atau bahkan mengizinkan dan membenarkan penggunaan kekuatan berlebihan, kekerasan yang tidak perlu serta tindakan represif lainnya.

Pilihan kebijakan itu juga terlihat di berbagai wilayah di mana aparat keamanan tampak melakukan serangan terhadap warga sipil yang sedang melakukan aksi protes damai.

Bentuk serangan tersebut mulai dari praktik intimidasi, serangan fisik, penyiksaan dan perlakuan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.

Dengan demikian, Amnesty International Indonesia menilai bahwa seluruh peristiwa tersebut menurut sifat dan lingkupnya dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia.

“Karena itu, kami mendesak Kapolri untuk mempertanggungjawabkan kebijakan represif yang sistematis dan meluas tersebut,” kata Usman Hamid.

Jika Kapolri enggan mempertanggungjawabkan dampaknya, dan itu terlihat dengan belum adanya langkah nyata yang menegaskan sikap Kapolri untuk memastikan akuntabilitas ditegakkan, yaitu mengajukan anggotanya yang terlibat peristiwa represif tersebut akan dibawa proses hukum dan pengadilan.

“Kami mendesak Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan projustitia terhadap peristiwa tersebut, termasuk memanggil Kapolri dan meminta keterangannya atas keseluruhan tindakan kepolisian di berbagai wilayah kepolisian daerah,” kata Usman Hamid.

Amnesty International Indonesia juga mendesak agar polisi  membebaskan semua peserta aksi yang masih ditahan dengan segera tanpa terkecuali.

“Kepada pemerintah, kami juga menekankan pentingnya menghormati dan melindungi hak-hak warga negara dalam menyuarakan aspirasi mereka,” kata Usman Hamid.

 

Aksi Kekerasan Polisi di Semarang

Sumber kredibel Amnesty dari LBH Semarang mengungkapkan aksi represif yang dilakukan aparat kepolisian ketika menghadapi aksi demonstrasi yang diikuti mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil di Kota Semarang pada Senin (26/8).

Aksi tersebut beragendakan mengawal putusan MK terkait uji materi UU Pilkada dan mengritik sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Jokowi.

Rencana aksi awal adalah di depan kantor DPRD Jawa Tengah, tapi karena pengamanan oleh aparat yang berlebihan dengan pengerahan pasukan 1.000 lebih personil dan menutup hampir seluruh jalur evakuasi akhirnya massa aksi memutuskan bergeser titik aksi ke depan kantor DPRD Kota Semarang (Balai Kota).

Pada jam 13.30 WIB, massa aksi mulai kumpul di depan Balai Kota. Ada sekitar 1000 massa aksi mendatangi kantor balai kota, pasukan kepolisian sudah berjaga di dalam pintu masuk kawasan Balai Kota.

Pada jam 16:00 massa aksi mencoba memasuki Balai Kota Semarang namun terus diadang oleh aparat kepolisian. Proses pengadangan dilakukan dengan represif ke massa aksi, sehingga memicu keributan.

Pada 16.30, sehabis massa aksi melakukan salat bersama, aparat kepolisian bersenjata lengkap membawa mobil water canon dan berulang kali menyemprotkan air. Aparat kepolisian mulai menembaki gas air mata, membuat massa aksi mundur dan berlarian.

Pada jam 18.00 WIB, aparat mulai mengancam akan melakukan pembubaran dengan alasan batasan jam untuk melakukan aksi. Beberapa kali aparat memukul massa aksi yang berada di depan ketika mendorong mencoba masuk. Pada sore itu sekitar delapan orang peserta aksi mengalami bocor kepala karena kena pentungan polisi.

Banyak massa aksi terjebak di beberapa gedung, puluhan dari mereka pingsan dan luka-luka. Aparat terus maju ke arah massa aksi, sampai mereka terdorong di depan Mal Paragon. Polisi terus menembaki gas air mata bahkan masuk ke perkampungan warga, dan banyak anak yang sedang mengaji terkena gas air mata.

Keterangan ini juga diperkuat laporan-laporan media di lokasi saat polisi mulai menembakkan gas air mata dan water cannon pukul 18.26 WIB. Menurut laporan media, lebih dari 10 gas air mata ditembakkan ke peserta aksi yang bergerak ke arah Mal Paragon.

Sekitar pukul 19.40 kesulitan kian melanda massa aksi, karena tabung oksigen habis dan jumlah ambulan terbatas. Selain itu, beberapa gedung tempat massa aksi terjebak dijaga oleh kepolisian sehingga ambulan sulit masuk.

Malam itu puluhan massa aksi ditangkap oleh kepolisian dan diarahkan ke markas Polrestabes semarang. Tim hukum Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) sedang mendampingi korban di Polrestabes, namun hingga saat ini belum diberikan akses bantuan hukum oleh RESMOB unit V dengan alasan tidak jelas. Kapolrestabes Semarang di depan Polrestabes melarang massa aksi untuk bersolidaritas kepada kawan-kawan yang ditahan.

Menurut data yang sementara ini berhasil dihimpun, terdapat setidaknya 32 orang dari massa aksi yang ditangkap polisi, mereka terdiri dari 22 pelajar, sembilan mahasiswa, dan seorang lagi pengemudi ojek online.

Selain itu, sedikitnya 33 korban aksi represif aparat dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama.

Tim hukum GERAM mengecam Kapolretabes Semarang yang menghalang-halangi hak bagi korban untuk mendapatkan bantuan hukum serta represifitas yang telah dilakukan oleh aparatnya.

Pada hari ini (27/08) di Kota Semarang dijadwalkan demonstrasi “Geruduk Polrestabes Semarang” dengan menuntut pembebasan atas 30-an massa aksi yang ditangkap aparat dan sampai saat ini belum dibebaskan dan belum boleh didampingi oleh tim pendamping hukum GERAM. (nat)