5 October 2024

SinarHarapan.id-Pemilik gedung Binawan 2 yang digunakan sebagai rumah Kost dan sebagian warga Cikini, Jakarta Pusat menolak lahannya dieksekusi.

Penolakan tersebut didasari karena adanya dugaan salah objek perkara. Warga daerah Cikini yang telah menempati pemukiman ini sejak puluhan tahun lalu dan mempunyai dokumen kepemilikan yang sah dan taat membayar pajak pemerintah, kini tempat dan gedung ini menjadi objek perkara.

Tim kami melakukan penelusuran mengenai perkara ini, menurut beberapa keterangan, perkara ini bermula dari kesalahan Pengadilan Tinggi yang memutuskan perkara tentang kepemilikan objek lahan dan bangunan ini tanpa menjalankan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 tahun 2001 tentang pemeriksaan setempat (descente) untuk menentukan lokasi objek perkara yang akan diputuskan itu sendiri.

Pengadilan juga tidak melibatkan BPN untuk melakukan pengukuran objek perkara. BPN sendiri menyatakan bahwa ex-eigendom No. 408 adalah tanah bekas hak barat yang sekarang dinyatakan tidak berlaku, dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.

Keputusan pengadilan memberikan hak kepada PT. Bank Mandiri atas sebidang tanah ex-eigendom Nomor 408 di Jalan Cikini Raya, Kelurahan Gambir, seluas 10.000 meter persegi, setelah dikurangi 901 meter persegi yang dikuasai oleh PT. Kantor Pos.

Kami pun berbincang dengan warga sekitar, Cici, warga Kalipasir, mengaku belum pernah menerima pemberitahuan resmi mengenai penggusuran atau kepemilikan tanah oleh Bank Mandiri di lokasi tersebut. “Saya belum tahu secara resmi tentang rencana penggusuran ini. Kami berharap tidak ada penggusuran. Sebagai warga kecil, kami pasti akan terkena dampaknya, baik secara mental ataupun perekonomian,” imbuh Cici, yang telah tinggal di Kalipasir secara turun-temurun.

Ketua RT 10/RW 01 Kelurahan Cikini, Andi Alfrizal, juga berharap agar eksekusi ini tidak menimbulkan kerusuhan di tengah masyarakat. “Kami menghormati putusan pengadilan, namun kami berharap proses eksekusi dilakukan dengan adil dan tanpa keributan,” pinta Andi.

“Di sini ada 50 Kepala Keluarga dengan jumlah 200 jiwa dan sekitar 20 bangunan warga. RT kami berbatasan dengan RT15, RT02, dan RT16. Selain bangunan warga, di sini juga ada kantor, kafe, dan restoran,” tambah Andi Alfrizal.

Pemilik bangunan juga menyatakan bahwa tidak pernah di objek Gedung di Jalan Kali Pasir, RT02 No. 16 ini tidak pernah dilaksanakan sidang di tempat (discente) oleh Pihak Pengadilan. Afrizal mengatakan bahwa selama 3 periode dia menjadi ketua RT sampai sekarang belum pernah di lokasi ini dilaksanakan sidang di tempat.

“Kalo ada saya pasti tahu, karena saya kepala lingkungan di sini,” imbuh Andi Alfrizal.

Tidak hanya bertemu dengan warga, kami juga bertemu dengan perwakilan pemilik Gedung PT Mitra Mata, yang berlokasi di Jalan Kali Pasir No. 16, Kelurahan Cikini, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat yang dengan tegas menolak rencana eksekusi yang akan dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 28 Agustus 2024.

Perwakilan PT Mitra Mata, H. Yohanes, menegaskan bahwa rencana eksekusi ini merupakan tindakan ini keliru, mengingat putusan pengadilan yang menjadi dasar menyatakan bahwa lahan yang menjadi hak Bank Mandiri berlokasi di Jalan Cikini Raya, Kelurahan Gambir, namun tidak menyebutkan batas-batas dan nomornya, tetapi mengapa tiba-tiba putusan eksekusi tersebut justru loncat menjadi di Jalan Kali Pasir, RT. 11 No. 16, Kelurahan Cikini, Kecamatan Menteng.

Diketahui bahwa kecamatan dari lahan yang diperkarakan sudah berbeda, yakni antara kecamatan Gambir dan Cikini. “Karena kami memiliki seluruh dokumen kepemilikan yang sah, antara lain AKTA jual beli rumah dan pemindahan hak atas tanah bekas sertifikat hak pakai No. 10, IMB, SK pemberian hak guna bangunan dari BPN, bukti pembayaran setoran ke kas negara, dan berbagai surat-surat resmi lainnya,”ujar Yohanes.

Kuasa hukum PT Mitra Mata, Suryantara, juga menegaskan. “Ada kesalahan fatal dalam penentuan objek eksekusi ini. Hal ini berawal dari klien kami PT Mitra Mata Jakarta Pusat, memiliki hak pakai No.10 yang sudah habis kemudian mau diperpanjang ditingkatkan menjadi SHGB, lalu berproses di BPN. Sudah mendapat SK dari kepala BPN, tapi belum diterbitkan karena mendapat pemblokiran dari Bank Mandiri,” ungkap Suryantara.

Suryantara selaku kuasa hukum juga menjelaskan bahwa pihaknya sudah bersurat kepada Kementerian Keuangan untuk memastikan apakah tanah yang dimiliki oleh PT Mitra Mata adalah aset negara, namun pihak Kementerian Keuangan turut menyatakan bahwa objek lahan tersebut bukan merupakan aset negara.

“Kita melakukan upaya gugatan pengangkatan blokir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada tingkat pertama Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan pengangkatan blokir, lalu yang kedua Bank Mandiri yang saat itu menjadi pihak tergugat melakukan banding. Di tingkat banding ini, putusan tersebut menjadi berbeda. Salah satu amar putusannya, menyatakan penggugat rekovensi yakni pihak Bank Mandiri berhak atas tanah ex-eigendom,” tambah Suryantara

Suryantara mengungkapkan bahwa eksekusi ini tidak hanya salah secara lokasi, tetapi juga melanggar prosedur hukum yang berlaku. “Pengadilan tidak menjalankan kewajiban untuk memeriksa objek perkara secara setempat, dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) tidak pernah dilibatkan untuk mengukur ulang objek sengketa.”

PT Mitra Mata telah mengambil langkah hukum dengan mengajukan permohonan penangguhan eksekusi, dan perlindungan hukum kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan Polres Metro Jakarta Pusat.

“Kami juga telah melakukan pengaduan ke Menkopolhukam, sebagai pengaduan Masyarakat. Saya diterima oleh Jendral Puja Laksana, saya sampaikan keluhan. Pengaduan kami diterima dan akan menindaklanjuti sesuai kewenangan yang ada,” ungkap Suryantara.