SinarHarapan.id-Kecanggihan teknologi dapat mendukung perempuan untuk semakin berdaya dan berkontribusi di semua bidang, terutama dalam ekonomi digital. Namun tidak dapat dipungkiri, internet dan media sosial dapat menjadi sarana munculnya tindakan kekerasan dan eksploitasi, terutama terhadap perempuan dan anak.
Oleh karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus berupaya membangun sinergi dan kolaborasi untuk melindungi perempuan dan anak dari berbagai bentuk kekerasan di ranah daring.
“Menjadi penting untuk mendorong perempuan dan anak Indonesia agar lebih aware dalam memanfaatkan teknologi digital secara tepat. Perempuan dan anak yang telah dibekali dengan kemampuan literasi digital yang baik akan mampu melindungi diri sendiri dari berbagai kejahatan dunia digital, termasuk melindungi anak dan keluarganya saat mereka beraktivitas di dunia digital dan media sosial,” ujar Menteri PPPA Bintang Puspayoga sebagaimana dikutip InfoPublik pada Sabtu (13/7/2024).
Berdasarkan data SAFEnet Indonesia, pada 2024 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia naik empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 118 kasus di triwulan I-2023 menjadi 480 kasus pada triwulan I-2024. Menteri PPPA menyebutkan, korban KBGO pada rentang usia 18-25 tahun menjadi kelompok terbanyak, yaitu 272 kasus atau 57 persen, dan diikuti anak-anak rentang usia di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26 persen.
“Kasus yang muncul terkait dengan pelecehan dan eksploitasi seksual perempuan maupun anak secara online hingga penyebaran konten intim non-konsensual merupakan salah satu bentuk KBGO yang mudah terjadi, bisa dialami siapapun, tetapi sangat minim solusi yang berkeadilan,” ungkapnya.
Dalam rangkaian dialog interaktif tersebut juga dilakukan penandatanganan piagam komitmen bersama terkait sinergi, kolaborasi, dan aksi bersama untuk melindungi perempuan dan anak dari berbagai bentuk kekerasan di ranah daring oleh Menteri PPPA; Direktur Program dan Produksi Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI), Mistam; perwakilan Kementerian/Lembaga; dunia usaha; komunitas; mitra pembangunan; akademisi; dan Forum Anak.
“Hari ini kembali kita membangun komitmen bersama melalui aksi kolaboratif multipihak untuk memperkuat berbagai upaya pencegahan sebagai hulu dalam memutus mata rantai terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Mari kita melakukan langkah-langkah yang nyata untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan, khususnya di ranah daring,” tutur Menteri PPPA.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Program dan Produksi Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI), Mistam menyambut baik ajakan Menteri PPPA untuk bersama-sama mewujudkan perlindungan perempuan dan anak di ranah daring. Menurut dia, LPP RRI memiliki komitmen yang sejalan terkait hal tersebut.
“Kita semua hadir di sini punya satu tujuan dan komitmen, yaitu membangun sinergi, kolaborasi, dan aksi bersama untuk melindungi perempuan dan anak dari berbagai bentuk kekerasan di ranah daring. RRI secara mandiri pun telah melaksanakan program edukasi yang bertujuan untuk melindungi kaum rentan,” imbuh Mistam.
Sementara itu, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong mengatakan, pihaknya telah secara aktif melakukan literasi digital yang bersifat inklusif dan menjangkau berbagai kalangan, termasuk perempuan. Menurutnya, literasi digital merupakan langkah preventif yang terdiri atas empat pilar, yaitu digital skill, digital ethics, digital culture, dan digital safety.
“Kemudian kita melakukan mekanisme yang biasa disebut corrective. Kita melakukan take down konten negatif di media sosial dan website, termasuk terkait pornografi. Sejak 17 Juli 2023 hingga 13 Juni 2024 kita sudah me-take down konten bermuatan pornografi sebanyak 25.628 konten yang 374 di antaranya terkait dengan pornografi anak. Kemudian, dalam mekanisme yang sifatnya penindakan kita bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia,” tutur Usman.
Dari sisi platform sosial media, Public Policy ByteDance/TikTok, Marshiella Pandji menjelaskan, berdasarkan panduan komunitas, TikTok tidak mentoleransi adanya konten-konten yang menjurus pada KBGO, misalnya mendukung atau memperlihatkan kekerasan, baik seksual, fisik, dan lainnya, terutama konten yang sifatnya child sexual abuse materials (CSAM). Selain itu, menurut dia, Indonesia merupakan satu-satunya market TikTok yang penggunanya berusia 14 tahun ke atas.
Tiktok juga memiliki fitur/tools yang kita gunakan untuk mencegah konten-konten KBGO, salah satunya family pairing yang berangkat dari semangat bahwa untuk mengatasi isu ini, harus ada kerja sama dari berbagai pihak, termasuk orang tua/wali.
“Kita berusaha empower orang tua/wali untuk membantu mengontrol aktivitas anak mereka di media sosial. Orang tua/wali bisa menghubungkan akun TikTok-nya dengan akun anak mereka dan membantu mengontrol, misalkan siapa saja melihat konten yang dipublikasikan oleh anak mereka di TikTok. Selain itu, fitur direct message kita matikan untuk usia 14-15 tahun dan untuk usia 16-17 tahun by default off, mereka harus turn on kalau mau menggunakan fitur tersebut,” jelas Marshiella.
Seorang public figure yang bergerak pada isu perlindungan perempuan, Ayushita mengatakan, seluruh stakeholders, termasuk masyarakat bisa mewujudkan perlindungan perempuan dan anak, khususnya di ranah daring dengan terus menyuarakan dan memperjuangkannya. Dirinya bercerita, ia kerap mendapatkan direct message dari para korban kekerasan yang mengalami kesulitan untuk melapor atau speak up atas kasus yang dialaminya.
“Saya kasih rujukan di mana saja bisa melakukan pelaporan. Bisa menghubungi banyak pihak, ada hotline SAPA 129 Whatsapp 08111129129, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Yayasan Pulih, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, Rifka Annisa, SAPA Institute, dan masih banyak lagi lembaga swadaya masyarakat (LSM) lain yang bisa membantu teman-teman yang mungkin belum nyaman untuk melaporkan atau speak up di forum,” pungkas Ayushita.(isn/infopublik)