BALI (SinarHarapan.id) – Pariwisata Bali terus menunjukkan tren positif pada 2025. Kunjungan wisatawan yang meningkat, tingkat hunian hotel yang stabil, serta pertumbuhan ekonomi daerah menandakan kebangkitan yang lebih matang. Tantangan berikutnya adalah memastikan pengalaman yang kian nyaman, bersih, dan modern bagi semua wisatawan, utamanya dalam mendukung upaya menciptakan pariwisata yang bebas asap.
Tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak pelaku wisata merupakan konsumen dari produk tembakau. Meski demikian, asap yang dihasilkan oleh produk tembakau seperti rokok, berpotensi mengganggu kenyamanan. Dalam konteks inilah pendekatan pengurangan risiko atau harm reduction menjadi relevan.
Alih-alih berfokus pada larangan, pendekatan ini menekankan penyediaan informasi akurat tentang opsi dengan risiko lebih rendah bagi perokok dewasa yang ingin beralih ke produk alternatif. Langkah ini juga menjawab dinamika perilaku wisatawan mancanegara yang beragam, dengan tetap memperhatikan batasan dan regulasi yang berlaku di daerah wisata.
Isu ini menjadi pembahasan utama dalam SAPA Bali 2025: Sarasehan untuk Pariwisata dan Bali Bebas Tar yang diselenggarakan Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) di Denpasar, Kamis (2/10). Diskusi ini mempertemukan sains, industri pariwisata, dan pembuat kebijakan untuk merumuskan langkah efektif dan tepat guna yang dapat langsung dipraktikkan di lapangan. Tujuannya sejalan dengan semangat Bali sebagai destinasi berkelas dunia: ramah, menjaga kebersihan udara, serta mendorong inovasi layanan yang menghormati pilihan individu perokok dewasa.
Dekan FEB Undiknas Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M., menegaskan bahwa perekonomian Bali sangat bergantung pada pariwisata yang menyumbang lebih dari separuh PDRB daerah dengan multiplier effect luar biasa. Karena itu, kenyamanan dan kualitas lingkungan menjadi faktor utama agar pariwisata tetap tumbuh berkelanjutan.
“Kebiasaan merokok memang masih kuat di Bali, namun udara Bali idealnya bebas dari racun dan asap tar. Nilai Tri Hita Karana mengajarkan kita menjaga harmoni manusia, alam, dan budaya, termasuk dengan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat. Pendekatan harm reduction melalui opsi nikotin berisiko lebih rendah tanpa pembakaran dan tar dapat menjadi alternatif transisi, dengan kampanye tidak menggunakan rokok konvensional di ruang tertutup dan akomodasi yang diperkuat agar dipahami wisatawan. Yang dicari wisatawan bukan hanya keindahan, tetapi juga pengalaman bersih, nyaman, dan membuat mereka ingin kembali,” ujarnya.
Direktur Eksekutif BPD PHRI Bali, Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si., menyampaikan sektor perhotelan telah menerapkan standar usaha berbasis risiko dan sertifikasi kesiapsiagaan bencana, meski implementasi peraturan gubernur yang mendorong hotel bergabung dalam asosiasi masih terbatas dengan baru sekitar 20 persen hotel yang menjadi anggota PHRI. Ia menambahkan banyak hotel kini menjalankan kebijakan bebas asap rokok yang terbukti lebih disukai tamu, khususnya keluarga, bahkan ada yang melarang karyawan merokok di area hotel.
Menurutnya, informasi mengenai produk tembakau alternatif tanpa asap dan tar juga berpotensi menjadi pilihan, asalkan disertai sosialisasi berbasis sains agar seluruh pihak memahami dengan benar. “Fokus kami adalah menghadirkan pengalaman menginap yang lebih nyaman dan sehat, sehingga standar layanan perhotelan Bali dapat terus meningkat,” ujarnya.
Anggota Komisi IX DPR RI, Tutik Kusuma Wardhani, S.E., M.M., M.Kes., menekankan pentingnya sosialisasi perilaku hidup sehat, khususnya di pedesaan di mana kebiasaan merokok cenderung lebih tinggi dibandingkan di kota. Ia menyebut penguatan sosialisasi pentingnya aktivitas fisik, pola makan seimbang, serta pengurangan gula, garam, dan lemak perlu terus digencarkan agar faktor risiko penyakit dapat ditekan.
“Tidak ada yang bercita-cita sakit, namun bila perilaku tidak sehat tidak berubah, beban pembiayaan BPJS bisa membengkak. DPR terus mengatur agar pembiayaan tetap terkendali, karena jika derajat kesehatan masyarakat membaik maka beban biaya pengobatan akan menurun, sehingga ruang fiskal APBN bisa lebih besar dialokasikan ke daerah, termasuk Bali, untuk peningkatan layanan publik.” jelasnya.
Forum juga mendorong kolaborasi antara pelaku industri, komunitas kesehatan, dan kampus di Bali untuk mengukur dampak secara berkala melalui survei kepuasan tamu dan audit kualitas udara di tempat wisata. Hasilnya diharapkan menjadi rujukan bagi seluruh wilayah, sembari menjaga citra Bali sebagai destinasi yang berkelas dan berwawasan lingkungan. Bali perlu memberikan pilihan bebas asap bagi perokok dewasa tanpa menurunkan kenyamanan wisatawan. Dari sains ke layanan, dari kebijakan ke praktik, inilah wujud pariwisata yang bukan hanya menarik dikunjungi, tetapi juga nyaman dijalani. Dengan kolaborasi yang tepat, Bali bebas asap dapat menjadi standar baru destinasi wisata kelas dunia.